Ngaji Psikologi
  • Home
  • Download
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Contact Us


Seperti kebanyakan penggemar media sosial (medsos) di zaman sekarang, Instagram sepertinya merupakan medsos yang hampir-hampir tak bisa dilewatkan. Dan, saya suka dengan beberapa akun Instagram yang memang menampilkan foto-foto yang begitu artsy; daripada akun gossip.

Hampir setiap waktu luang yang saya punya digunakan untuk browsing akun Instagram populer atau milik teman yang kadang terpaksa diikuti (karena jika tidak diikuti bisa merusak pertemanan, katanya). Selain karena artsy tadi, suka juga dengan foto-fotonya yang daily traveling banget. Bumi yang kita tinggali ini menjadi betapa indahnya, bahkan untuk sekadar di tepian jalanan. Atau, sajian hidangan makanan selalu menjadi tampak lezat dan menyehatkan. Apapun yang mereka posting terlihat indah, termasuk diri mereka sendiri ketika selfie. Saya jadi melihat hidup dengan cara yang berbeda, lewat foto-foto. Meski, kita sama-sama tau bahwa kita ini hidup pada realitas (dunia) yang sama.

Sering, saya bertanya-tanya tentang bagaimana mereka bisa menampilkan feed Instagram yang bagus dan begitu tertata rapi, sementara yang saya lakukan untuk mendapatkan hasil yang setidaknya mendekati seperti mereka, maka saya perlu menjelajah berbagai situasi dan kondisi yang tidak mudah. Membawa Smartphone atau DSLR dengan lensa mumpuni, pergi ke lokasi yang strategis, dengan perjalanan yang jauh-dekatnya sama saja: melelahkan. Atau, harus menahan malu karena banyak orang yang memperhatikan ketika dengan belagunya berlagak ala-ala fotografer handal.

Ah, pada akhirnya, ketika saya membandingkan dengan feed Instagram milik sendiri: biasa saja! Hidup kembali terlihat sebagaimana saya melihatnya selama ini. Kadang indah, tapi seringnya terlihat biasa saja. Hahaha

Jangan-jangan, bagaimana kita 'memotret' sebenarnya mencerminkan bagaimana kita melihat kehidupan. Ia mencerminkan sudut pandang, pemaknaan, dan apresiasi kita terhadap hal-hal dalam hidup. Bisa jadi sebenarnya, ada saja lho yang mengagumi feed Instagram kita tanpa kita sadari, alih-alih kita mengagumi feeds-nya orang lain.

Barangkali yang patut saya renungi, yakni bagaimana jika kenyataannya selama ini saya hidup dengan sudut pandang dan lensa yang tidak tepat, menentukan dan menangkap objek yang salah, atau menggunakan filter yang keliru. Rugi sekali khan jika saya menjalani hidup begitu saja, dan tidak pernah tahu bahwa ada banyak cara yang lebih indah untuk menjalani kehidupan? ---/0/


Mungkin, hipnosis menjadi misteri terbesar karena masih dipandang sebagai sesuatu yang misterius. Ini adalah sifat manusia yang wajar dari setiap orang yang hidup di planet ini. Semua orang yang membaca artikel ini akan menemui kondisi hipnosis di beberapa bahasan kali ini, jika mereka belum pernah menemukannya. Hipnosis begitu tertanam dalam diri kita, nyatanya, Anda tidak bisa melalui hari tanpa mengalaminya, lebih daripada Anda melalui hari tanpa mengalami beberapa bentuk emosi.

Katakanlah, pasti ada banyak perdebatan tentang detilnya. Perdebatan ini biasanya berkisar pada aspek psychobiological hipnosis, yaitu, apa yang sebenarnya terjadi dalam otak ketika kita berada dalam kondisi hipnosis. Beberapa komentator percaya bahwa hipnosis menghasilkan kondisi kesadaran yang berubah, yang lain percaya bahwa tidak ada yang terjadi sama sekali. Selebihnya percaya bahwa subyek hipnosis hanya bertindak (berperan) untuk menyenangkan Hipnotis! (Hipnotis adalah orang yang melakukan proses hipnosis, red.)

Mengesampingkan pertanyaan tentang apa itu keadaan "normal" dari kesadaran tetap merupakan kemajuan dalam ilmu saraf (neuroscience), dan kemampuan untuk memantau aktivitas otak sebagaimana kejadiannya, telah menunjukkan bahwa hipnosis memang memiliki efek yang dapat dibuktikan pada otak. Dalam percobaan terkenal di Stanford University, siswa yang terhubung ke sebuah mesin pencitraan otak sambil melihat gambar hitam dan putih. Dalam pengaruh hipnosis, siswa diberitahu bahwa gambar sebenarnya berwarna—dan pemindai otak menunjukkan bahwa daerah otak yang memproses warna menjadi aktif ketika sugesti diberikan.

Baru-baru ini, psikolog Joe Griffin dan Ivan Tyrrell telah secara eksplisit mengaitkan hipnosis dengan "gerakan mata cepat" (Rapid Eye Movement) atau kondisi REM, yang lebih sering dikaitkan dengan tidur bermimpi (dreaming sleep). Hal ini juga yang semua Mamalia, bukan hanya manusia, mengalaminya bahkan sebelum mereka lahir. Bayi dalam kandungan mengalami banyak REM, Griffin dan Tyrrell mengatakan bahwa ini adalah cara alami untuk menginstal dan memelihara perilaku naluriah.

Yang menarik dari studi ini adalah, berkonsentrasi pada aspek psychobiological hipnosis pada sebagian kecil dari ahli permainan—seperti menganalisis zat warna tertentu yang digunakan seorang seniman untuk membuat lukisan. Jika kita melangkah mundur dan melihat lukisan secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa hipnosis yang sebenarnya adalah keadaan alamiah yang menyeluruh dari pikiran. Mungkin misterinya berasal dari sebuah penerapan label tidak biasa untuk sesuatu yang pada yang dasarnya normal. Sebuah label yang tidak tepat pula, mengartikan baik keadaan pikiran itu sendiri maupun teknik, yang biasanya dapat menciptakan hal tersebut.

Hipnosis secara umum adalah induksi dalam keadaan trans (trance). Meskipun trans memiliki konotasi dari “otomatisme mata berkaca-kaca” (glassy-eyed automatism), yang berarti keadaan fokus hanya pada sesuatu yang menjadi perhatian. Perhatian dapat difokuskan secara eksternal, atau dapat difokuskan secara internal. Anda sudah di-trans jika Anda pernah terserap dalam sebuah film besar, tenggelam dalam sebuah buku yang bagus, atau terbuai dalam simfoni. Anda sudah di-trans jika Anda pernah menatap terpesona pada matahari terbenam atau awan yang melintas. Anda juga sudah di-trans jika Anda pernah menatap ke luar jendela, melamun tentang sesuatu yang terjadi dua puluh tahun yang lalu.

Jelas Anda tidak menghilang pada saat itu. Jika ada sesuatu yang membutuhkan perhatian Anda, Anda tersadar—jadi jika Anda terpesona oleh karya orkestra besar dan seseorang di sebelah Anda berbicara keras pada ponsel-nya, sayangnya, Anda mungkin akan tahu semua pembicaraannya. Semua yang terjadi, selama kondisi trans, adalah kunci perhatian Anda ke sumber tertentu, dan segala sesuatu yang lain hanya memudar ke latar belakang untuk sementara waktu.

Bahkan jika tidak ada yang terjadi dalam hidup kita untuk memperbaiki perhatian kita, kita masih akan mengalami keadaan trans, karena otak kita secara alami dirancang untuk masuk ke trans setiap 90 menit atau lebih. Anda mungkin telah merasakannya sendiri—ada saat-saat siang hari ketika Anda merasa enerjik dan mampu berkonsentrasi, diselingi dengan periode merasa sedikit kabur dan melamun (daydreamy). Hal ini dikenal sebagai ritme ultradian.

Apa yang sebenarnya terjadi setiap sembilan puluh menit adalah, aktivitas otak beralih dari kiri ke belahan kanan. Akibatnya, fokus kita bergeser secara internal, sebagai daerah yang lebih metaforis dan pola yang tepat untuk otak memproses segala sesuatu yang telah diserap dalam satu jam setengah sebelumnya. Ini seperti tampak bertindak sebagai mekanisme rumah tangga, seperti komputer mem-back up file, atau sebagai bentuk kontrol stres. Ini bisa berlangsung selama sekitar lima belas menit.

Meskipun semua berupa misteri, maka, hipnosis hanyalah sebuah metode untuk memfokuskan perhatian dan mengubahnya ke arah dalam. Hal ini tidak lebih—dan tidak kurang—dari cara kerja dan pengambilan kendali sesuatu yang pernah terjadi.

Social comparison mengacu pada “kecenderungan untuk membandingkan prestasi, situasi, dan pengalaman seseorang dengan orang lain” (Buunk AP, Gibbons FX, 2006). Teori social comparison didirikan berdasarkan teori dari Festinger (Festinger, 1954). Festinger memproses social comparison sebagai proses alami untuk evaluasi diri (self-evaluation) ketika individu tidak memiliki kriteria objektif untuk menilai kemampuan (abilities) dan pendapat (opinions) mereka. Untuk membuat evaluasi diri mereka akurat, individu cenderung memilih orang-orang yang dianggap mirip dengan diri mereka sebagai target perbandingan.

Para ahli memperluas teori Festinger, dengan alasan bahwa individu dapat melakukan berbagai jenis social comparison untuk mencapai tujuan selain evaluasi diri. Misalnya, mereka dapat melakukan social comparison ke atas, atau membandingkan diri mereka dengan orang lain yang superior, untuk meningkatkan diri mereka sendiri; mereka juga dapat melakukan social comparison ke bawah, atau membandingkan diri mereka dengan orang lain yang inferior, untuk meningkatkan subjective well-being atau kesejahteraan subjektif mereka (Wills TA, 1981; Wood J., 1989).

Menurut teori social comparison, orang berbeda dalam kecenderungan mereka membuat perbandingan dengan orang lain. Mereka yang memiliki orientasi kuat untuk social comparison memiliki tiga karakteristik. Pertama, mereka memiliki aktivasi diri kronis yang tinggi, yang berarti mereka memiliki tingkat kesadaran diri publik dan pribadi yang tinggi. Kedua, mereka berorientasi sosial, tercermin dari minat, empati, dan kepekaan mereka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Ketiga, mereka cenderung memiliki keefektifan dan ketidakpastian diri yang negatif dan dengan demikian sering memiliki harga diri yang rendah dan neurotisme yang tinggi (Buunk AP, Gibbons FX, 2006).

Orientasi social comparison sangat penting dalam konteks media sosial karena SNSs memberikan banyak peluang untuk social comparison, yang dapat mempengaruhi psychological well-being (kesejahteraan psikologis) seseorang. Khususnya, pada SNSs, individu terlibat dalam social comparison yang lebih ke atas daripada perbandingan sosial ke bawah (Vogel E, Rose J, Roberts L, et al., 2014). Mungkin karena lebih banyak pengguna menampilkan gambar diri yang sangat positif (Yang C-C, Brown BB, 2016), dan karenanya, platform SNSs dipenuhi dengan target untuk perbandingan ke atas, yang sering menyebabkan iri (Lim M, Yang Y, 2015) dan rendah diri (Vogel E, Rose J, Roberts L, et al., 2014). ---/0/


Pengguna aktif social networking sites (SNSs) atau populer dengan istilah media sosial di kawasan Asia Tenggara meningkat sekitar 13 persen dari tahun 2017 hingga 2018 atau ada lebih dari 362 juta pengguna dengan sekitar 130 juta pengguna berasal dari Indonesia (We Are Social, 2018). Kemudahan akses menuju media sosial menghasilkan sekitar 91 persen pengguna berasal dari usia 16-24 tahun untuk menggunakan internet (Royal Society for Public Health, 2017).

Salah satu media sosial yang paling banyak dipelajari adalah Facebook karena platform ini memiliki miliaran pengguna aktif bulanan setelah diluncurkan pada Februari 2004. Namun, penelitian saat ini sedang beralih dengan mempelajari pengaruh media sosial populer baru, yaitu Instagram. Salah satu alasannya dikarenakan telah meningkatnya jumlah pengguna Instagram yang terhitung usia milenial dan Gen Z. Instagram saat ini adalah aplikasi media sosial paling populer di kalangan anak muda di seluruh dunia. Lebih dari 70 persen pengguna berusia antara 12 hingga 24 tahun adalah pengguna Instagram (Yi-Ting Huang, 2018).

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari remaja, dampak media sosial pada penggunanya telah lama didiskusikan dan dipelajari di bidang psikologi. Sebagian besar dampak ditemukan secara negatif memengaruhi kesehatan mental, misalnya kecanduan, kesepian, cyber bullying, gangguan tidur, masalah body image, dan depresi (Attwood, 2013; Cabral, 2008; Davey, 2016; Levenson, Shensa, Sidani, Colditz dan Primack, 2016; Royal Society for Public Health, 2017; Sidani, Shensa, Radovic, Miller, Colditz, Hoffman, dan Primack, 2016; Song, Larose, Eastin, dan Lin, 2004; Whittaker dan Kowalski, 2015).

Penggunaan media sosial dan implikasinya bervariasi berdasarkan sifat kepribadian pengguna (Lee E, Ahn J, Kim YJ, 2014; Wu Y-CJ, Chang W-H, Yuan C-H, 2015). Sebagian besar studi fokus pada penggunaan media sosial dan model kepribadian Lima Besar (Costa PT, Jr., McCrae RR, 1992), sementara orientasi social comparison (Gibbon FX, Buunk BP, 1999), yang merupakan konstruksi kepribadian yang penting, belum sepenuhnya dipelajari. ---/0/


Selamat datang,

Saya coba untuk memulai dengan suatu kajian yang menjadi minat saya sejak duduk di SMA dahulu sekitar pertengahan dekade 2000an: Psikologi. Meski pada perjalanan kehidupan saya didominasi terkait bidang marketing online (suatu saat saya ceritakan ini), saya tidak putus asa untuk terus mempelajari perihal minat terhadap psikologi. Dan, awal tahun 2020 saya unofficial lulus juga sebagai sarjana psikologi. Perjalanan yang sangat panjang (serta menyakitkan) untuk menyelesaikannya.

Setelah berpikir kesana kemari, tahun ini saya memutuskan untuk kembali mengasah dan menambah pengetahuan tentang psikologi. Blog ini sebagai sarana catatan agar saya memiliki archive, setidaknya secara digital. Diberi tema Ngaji Psikologi, atas inspirasi dari akun Instagram Ngaji Filsafat. Mudah-mudahan banyak bahasan yang semakin menggairahkan, menajamkan, meluaskan, dan tentunya, jadi manfaat bagi saya dan syukur-syukur untuk kalian yang sudah sengaja atau tidak sengaja berkunjung ke blog ini.

Ah, rasanya saya seperti bernostalgia kembali ke tahun 2000an yang lalu. ---/0/

Beranda

ABOUT ME

I could look back at my life and get a good story out of it. It's a picture of somebody trying to figure things out.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

About Me


I could look back at my life and get a good story out of it. It's a picture of somebody trying to figure things out. Great things in business are never done by one person. They’re done by a team of people.

Popular Posts

Advertisement

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates